Daerah

Ada 3.084 Laporan Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan di Jabar

Published

on

Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti. (Foto: Ist)

TODAY.ID, Bandung – Kesadaran masyarakat Jawa Barat (Jabar) terhadap isu kekerasan semakin menguat. Tidak lagi diam, warga kini berani melapor dan mengungkap tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan yang selama ini tersembunyi di balik tembok rumah dan stigma sosial.

Sepanjang tahun 2024, tercatat 3.084 kasus kekerasan, mayoritas menimpa anak-anak. Meski angka ini mengkhawatirkan, namun juga mencerminkan langkah maju dalam keberanian publik melawan kekerasan.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat mencatat, dari total kasus tahun 2024, sebanyak 2.939 kasus (63%) adalah kekerasan terhadap anak. Sementara itu, kekerasan terhadap perempuan berjumlah 1.145 kasus (17%).

Selain itu, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) juga menerima 948 laporan. Dari jumlah itu, kasus terhadap anak mencapai 472 (49,7%) dan terhadap perempuan sebanyak 476 kasus (50,2%).

Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti, menegaskan bahwa perubahan pola pikir masyarakat menjadi faktor utama meningkatnya pelaporan.

Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti. (Foto: Ist)

“Masyarakat semakin menyadari kalau kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sudah bukan dianggap sebagai hal yang tabu atau aib bagi keluarganya,” ujar Siska dalam Podcast Basa Basi Pokja PWI Kota Bandung, Senin (5/5/2025).

Kini, pelaporan tidak hanya datang dari korban. Masyarakat yang melihat, mendengar, atau mengetahui kekerasan juga dapat melapor. Pemerintah menyediakan berbagai kanal pelaporan, termasuk hotline UPTD PPA di nomor 085222206777 (WhatsApp), layanan SAPA 129, dan akun media sosial DP3AKB.

Siska menegaskan, setiap pelapor, baik korban maupun saksi, berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Kami dari DP3AKB dan UPTD PPA dapat menyediakan Rumah Perlindungan Sementara. Dan apabila terdapat ancaman yang lebih serius, terdapat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai Lembaga Negara yang bertugas untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban kekerasan,” jelasnya.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah membentuk UPTD PPA dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Unit ini menangani berbagai layanan, mulai dari pengaduan kasus, penjangkauan, hingga penyediaan rumah perlindungan sementara.

Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti. (Foto: Ist)

Tak hanya itu, UPTD juga memberikan layanan pendampingan kesehatan, psikologis, hukum, rehabilitasi sosial, hingga reintegrasi sosial dan mediasi. Semua layanan ini bertujuan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan secara menyeluruh.

Menanggapi kasus pelecehan yang diduga dilakukan seorang dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan di salah satu rumah sakit di Kabupaten Garut, Siska mendorong aparat penegak hukum bertindak cepat dan tegas.

“Kami meminta dan mendorong aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku kepada pelaku,” tegasnya.

Dalam rangka mencegah kekerasan sejak dini, DP3AKB meluncurkan program Jabar CEKAS (Jawa Barat Berani Cegah Tindakan Kekerasan). Program ini merupakan upaya kolaboratif antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat.

Melalui pembentukan Satgas PAAREDFI CEKAS di setiap desa dan kelurahan, program ini menggandeng kader PKK untuk mengkampanyekan gerakan “5 Berani” yakni: Berani Mencegah, Berani Menolak, Berani Melapor, Berani Maju, dan Berani Melindungi.

Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti. (Foto: Ist)

Belakangan, publik menyoroti kampanye Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait program vasektomi yang dikaitkan dengan penerima bantuan sosial. Namun, Siska menjelaskan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menekankan vasektomi, melainkan partisipasi KB secara menyeluruh, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

“Karena banyak di antara penerima bantuan sosial mempunyai anak lebih dari tiga. Dampaknya, pola asuh, gizi, kesehatan, pendidikan, dan hak anaknya terbengkalai. Niatan Pak Gubernur berangkat dari kepedulian itu,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Siska mengajak insan pers untuk berperan aktif dalam menyuarakan edukasi publik seputar hak korban kekerasan, prosedur pelaporan, serta konsekuensi hukum bagi pelaku.

“Diharapkan dengan adanya edukasi yang dilakukan pers, masyarakat akan semakin menyadari dan berani menentang kekerasan serta menciptakan lingkungan sosial yang suportif terhadap korban,” pungkasnya.

Lebih dari sekadar angka, peningkatan laporan kekerasan di Jawa Barat menjadi bukti bahwa kesadaran dan keberanian mulai tumbuh. Kini, saatnya semua pihak bersatu, tidak hanya untuk menangani dampak, tetapi juga mencegah kekerasan sejak akar.(*)

Laman: 1 2 3 4

Exit mobile version